RUMAH SAINS ILMA

Jalan TPU Parakan No. 148
Pamulang - Tangerang Selatan
Banten
Telp. 021-32042545


- akan tiba saatnya berpikir ilmiah menjadi budaya bangsa ini

Petuah Minggu Ini :

"Obat penawar terbaik dari segala jenis kegagalan adalah : coba lagi"

- tak ingat, siapa yang pertama kali menyampaikan petuah ini

Senin, 30 Maret 2009

Sebuah Luka di Suatu Lomba Percobaan Sains

Jikalau Anda sempat menyaksikan lomba percobaan sains tingkat SD, baik yang berskala nasional maupun regional, maka boleh jadi Anda akan merasa bungah. Sebentuk Indonesia yang gemilang dan mulia tampak semakin mendekat, tinggal belasan tahun saja jaraknya. Betapa tidak, percobaan-percobaan sains yang disajikan oleh anak-anak yang tak sampai 13 usianya itu, begitu berkualitas. Begitu dewasa.

Semestinya, perasaan yang sama jugalah yang saya rasakan ketika di suatu hari yang cerah menyaksikan lomba percobaan sains tingkat SD. Tetapi tidak. Di antara cukup banyak karya canggih dari anak-anak belia itu, saya malah merasa nyeri. Pemandangan seorang anak yang tergagap-gagap menjelaskan peraga sainsnya yang “terlalu dewasa”, membuat mata saya mengabur. Ya, saya tahu, ada air mata yang mulai menghangat di kedua kelopak mata saya.

Lalu, seorang kawan bercerita bagaimana seorang dewasa memarahi seorang anak peserta lomba, lantaran tak berhasil menjelaskan karyanya kepada dewan juri dengan lancar. Ya, Tuhan. Nyaris tak ada bedanya dengan orang tua yang suka ribut mengarah-arahkan anaknya saat lomba mewarnai gambar. Kita, orang dewasa, berhutang maaf yang besar kepada anak-anak yang diperlakukan seperti itu.

Perhatian saya kemudian terhenti kepada sebuah karya kimia yang menggoda : membuat sejenis gas dari soda kaustik alias soda api atau Natrium Hidroksida. Seorang anak SD memeragakan eksperimen dengan menggunakan bahan sangat berbahaya semacam soda api? Saya tak habis pikir. Apa yang sesungguhnya tengah menimpa atau ditimpakan kepada anak-anak kita?

Seberapa jauhkah sebenarnya intervensi orang dewasa (orang tua atau guru) terhadap karya sains seorang anak SD? Saya tak punya jawabannya. Akan tetapi, merujuk kepada sejumlah pemandangan yang saya amati, intervensi itu dapat saya duga besar. Bahkan di beberapa contoh, sangat besar. Pernah di suatu lomba seorang anak ditanya oleh dewan juri soal siapa yang membantunya membuat peraga sains. Si anak menjawab, “ayah dan pak guru”. Sang juri tersenyum maklum dan lanjut bertanya, “bagian mana dari peraga ini yang kamu buat?” Si anak menjawab jujur, “Tidak ada”.

Pernah saya jumpai pula, intervensi (atau dugaan intervensi) itu terasa membuat seorang anak kelas 2 SD menjadi robot perekam suara orang dewasa. Anak ini, dalam suatu lomba, memeragakan sebuah perangkat elektronik yang dioperasikan dengan menggunakan energi yang berasal dari beberapa buah lemon. Dengan mimik dan suara yang lucu ia menjelaskan, “Energi dari lemon ini bisa membantu Pak Presiden mengatasi krisis energi...” Ya, para penonton yang mendengar berdecak kagum. Sebagian bertepuk tangan. Sebuah pertunjukan yang menyenangkan, memang.

Panggung pertunjukan. Itukah yang sesungguhnya tengah terjadi pada lomba percobaan sains di negeri ini? Saya kuatir begitu. Lomba percobaan sains tampak seperti sebuah proyek orang dewasa untuk segera menyaksikan anak-anak ajaib bermunculan.


Saya berdoa dan berharap sungguh bahwa dugaan-dugaan intervensi itu adalah salah adanya. Bahwa luka yang terasa itu, hanyalah luka yang mengada-ada. Bahwa nyeri itu sekedar ilusi saja.

Akan tetapi, jika benar, maka ini sungguh merisaukan hati. Ia tak ubahnya kontes idola yang hampir setiap hari menari-nari di layar kaca. Kita tak akan memetik apa-apa. Kita tak akan tumbuh menjadi bangsa dengan karakter sains yang kuat. Kita tak bakal berevolusi menjadi bangsa yang inventif.

Padahal jika kita, para orang dewasa ini, bersabar untuk membiarkan anak-anak tumbuh dalam aktivitas sains yang bertahap dan wajar sesuai usia mereka, maka saya yakin kita akan berada di garis depan sains dan teknologi dunia kelak. Kita hanya perlu menyediakan suasana bermain sains yang menyenangkan, yang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengeksplorasi dunia di sekitar mereka. Kita hanya perlu mendampingi anak-anak untuk secara konsisten menaiki anak-anak tangga dengan kaki yang kokoh. Kita hanya perlu untuk berani menolak keinginan-keinginan instan.

Terakhir, ingin saya ceritakan perjumpaan saya dengan seorang guru di hari perlombaan sains itu. Kala itu Ibu guru tersebut berujar kira-kira begini, “Wah, karya dari sekolah lain canggih dan luar biasa ya. Karya murid-murid saya terlalu sederhana dan tampak kecil.” Menanggapi ujarannya yang beraroma gundah itu saya sampaikan, “Menang kalah tidak penting ibu. Justru ibu dan para murid sudah berada di jalur yang tepat.”

5 komentar:

Agus Listiyono mengatakan...

Wah pak, apa yang Panjenengan utarakan dan tulis di atas memang menjadi fenomena. Saya jadi ingat idola cilik di tv. Lagunya kok ya 'dewasa'. Apakah mereka ngak mikir kalau apa yang mereka lakukan adalah bentuk pendidikan yang 'kemanjon'?

Salut untuk Pak Muzi yang miiiikiiiir saban hari nemuin model eksperimen yang selalu beda!

Sukses untuk Pak Muzi. Saya bermohon Allah Swt membayar tunai ikhtir Bapak. Amien.

muzi mengatakan...

Terima kasih Pak Agus. Sama-sama kita mengikhtiarkan yang terbaik buat anak-anak. Semoga Sekolah Tugasku semakin bertambah Jaya, menjadi tempat yang selalu menyenangkan bagi anak-anak untuk mempersiapkan diri mereka yang kelak dewasa

Sunggoro Trirahardjo mengatakan...

Hal tersebut tidak lain adalah karena orang tua yang cenderung menjadikan anak sebagai obyek. Dimulai dari obyek kebanggaan pribadi, sampai yang akhirnya mengkomersialisasikan anaknya sendiri. Dalam hal ini akan banyak dimunculkan alasan untuk pembenaran hal tersebut, dikatakanlah bahwa anak itu mau dengan sendirinya, bahwa ide itu muncul dari anak itu dan kami hanya membantunya saja dari belakang, dllsbnya. Mudah-mudahan kelak ada kesadaran bahwa anak-anak juga memiliki haknya sendiri, dan kita sebagai orang tua hanya menuntunnya agar mereka tidak tersesat.

Anonim mengatakan...

Seharusnya kita, adalah kita, yaitu semua yang kita perbuat dan ucapkan. Satu lagi contoh kebanggaan atas keberhasilan semu.
Duuh, kadang saya berfikir kalau mendengar peristiwa-peristiwa seperti ini saya akan jadi mahluk pengumpat.

ali akbar muhammad mengatakan...

gusti paringono sabar